PT Rifan Financindo Berjangka - Thomas Frank menunjukkan performa luar biasa saat menghadapi Paris Saint-Germain (PSG) dan pelatih mereka, Luis Enrique. Selama 80 menit pertandingan, Tottenham tampil gemilang—menyulitkan tim terbaik Eropa hingga akhirnya kalah lewat adu penalti (Football365). Frank layak mendapat pengakuan atas strategi matang yang membuat lawan superior berulang kali kebingungan.
Taktik Set-Piece Terencana untuk Menembus Pertahanan PSG
Dua gol Spurs lahir dari skema bola mati yang eksekusinya sangat rapih: Cristian Romero bergerak ke tiang belakang usai blok, dan Micky van de Ven memanfaatkan umpan, kemudian disusul oleh gol dari sang kapten melalui sundulan terarah (Football365). Itu adalah bukti pemikiran taktikal Frank yang pragmatis dan efektif.
Tekanan Tinggi vs. Struktur Kerja Sama: Frank Tahu Kapan Menyerang dan Bertahan
Tottenham tidak bermain menunggu—mereka menerapkan pressing intens saat waktunya tepat. Pape Matar Sarr tampil sebagai motor penggerak dalam fase transisi, menunjukkan bahwa Frank berhasil membentuk tim yang seimbang antara menyerang dan bertahan (Football365).
Daniel Levy: Hambatan Nyata Bagi Ambisi Frank
Kritik keras tertuju pada Daniel Levy yang dinilai belum menunjukkan komitmen memperkuat skuad. Melihat performa Spurs menghadapi PSG, banyak pihak menilai Frank pantas diberi dukungan lebih—namun Levy dianggap masih menahan investasi yang dibutuhkan untuk memperkuat lini tengah dan serangan (Football365).
Konteks: Sejarah Pergantian Manajerial dan Risiko Loyalitas Fans
Pengangkatan Thomas Frank menjadi pelatih ke-13 dalam 25 tahun oleh Levy bukan langkah populer. Pelepasan Ange Postecoglou, manajer yang membawa Spurs meraih gelar Europa League, mendapat kritik keras dari berbagai pihak, termasuk fans, Christian Romero, dan kelompok “Change for Tottenham” (The Sun). Situasi ini menciptakan tekanan besar bagi Frank sejak awal.
Comments
Post a Comment